Thursday, February 18, 2010

SEPOTONG EPISODE SENJA

Wajahku memerah padam, dadaku menggelegak, tanganku mengepal penuh amarah, dan serta merta kupukul papan pengumuman itu dengan luapan amarah dan jeritan keras penuh kekecewaan. Tak ku pedulikan mata-mata orang yang melihatku penuh keheranan.
...
Segera aku pergi dari tempat itu dengan telapak tangan yang mulai berdenyut, nyeri. Tapi itu tak seperih yang kurasakan di dalam hati.
Aku merasa terbuang, aku marah, tapi tak tahu harus dilampiaskan pada siapa. Hampa, nggak ada harapan lagi. Apa yang selama ini kuperjuangkan selama ini terasa sia-sia bagiku. “semuanya sampah!!”, pekikku dalam hati. Nafasku tersengal tak beraturan menahan desakan emosi, seiring langkah penuh amarah dan kekecewaanku menyusuri lorong-lorong sekolah.
...
Kuperlambat langkahku dan kemudian duduk bersandar di bangku taman depan kelasku. Suasana sekolah mulai sepi oleh penghuninya. Wajar, KBM sudah selesai 2 jam yang lalu. Tak ada siapapun disini, selain beberapa anak yang sedang bergerombol di ruang OSIS yang bersebelahan langsung dengan kelasku. Mereka adalah para petinggi-petinggi OSIS, aktivis SMA ini.
Sementara itu, diseberang sana. Aku menatap tajam ke halaman sekolah, letak lapangan futsal SMA ini berada. Kulihat beberapa anak sedang berlatih futsal, Tim inti sekolah ini. Kulihat pelatih berteriak-teriak memberi arahan pada mereka. Mereka bermain cukup bagus, teknik tinggi. Latihan perdana menghadapi kompetisi futsal antar SMA se kabupaten dimulai hari ini, mereka yang berlatih adalah mereka yang nama-namanya tercantum dalam papan pengumuman yang baru saja menjadi korban pelampiasan amarahku. Dan namaku tidak tercantum disana.
...

Kulempar tas sekolahku dengan penuh rasa kekesalan, hingga isinya berhamburan keluar, berserakan di lantai kamarku, tak ku pedulikan. Aku duduk di tepian kasur bermotif bola futsal warna merah. Kurenungi kekecewaanku.
Aku mendesah kesal, kemarahanku belum hilang, masih sangat terasa. Kurebahkan tubuhku, kucoba untuk memejamkan mata. Terlintas bayangan tang sangat menakutkan, bayangan diriku sendiri,sangat menakutkan bagiku. Ini benar-benar tidak adil, tak adil bagiku.
...
Futsal adalah obsesi hidupku, tak pernah kuluangkan waktuku, sedikitpun tanpa berlatih futsal, kedua orang tuaku pun selalu setia memberikan dorongan dalam sela-sela kesibukan mereka. Mereka selalu berusaha meluangkan waktu mereka hanya untuk melihat setiap pertandingan-pertandingan futsal yang kuhadapi. Aku ingat betul ucapan bapakku
“ lakukan!, usahakan yang kau inginkan, semua yang kau impi-impikan, sampai kamu tidak bisa mengusahakannya lagi. Tapi ingat, itu semua bukan sekedar perjuangan semalaman”.
Aku coba tuk membuktikan ucapan bapakku, sejak SD, lapangan futsal sudah menjadi kelas keduaku.
Disana aku telah mendapatkan banyak hal. Hakikat perjuangan yang sesungguhnya, kebersamaan, kerjasama, daya tahan, bahkan sampai menerima kegagalan.
Aku mulai senang dengan duniaku, sampai suatu ketika kenyataa ini menghadangku. Kenyataan pahit. Kenyataan yang baru kusadari setelah hari-hari, minggu, bahkan tahun kulewati. Kulalui dengan perjuangan, untuk mewujudkan impianku, obsesi besarku. Menjadi pemain futsal profesional.
Tapi ternyata, hanya untuk ikutr berperan serta dalam kompetisi futsal santar SMA se kabupaten pun aku tidak mampi. Dasar pecundang.
...
Aku mendengus keras, dengusan penuh emosi. Pasti ada yang salah, ya pasti ada yang salah. Aku yakin, akulah kesalahan itu. Kucoba perhatikan penampilan fisikku, kemampuan fisikku. Aku nggak bisa berlari secepat mereka, aku tidak bisa segesit mereka, kakikupun tidak selincah mereka. Apa lagi tendanganku. Ahh, tak ada apa-apanya.
Aku menduga-duga, sebab apa yang menyebabkan aku tidak bisa seperti mereka. Ini pasti karena tubuhku terlalu gemuk, postur tubuhku tidak ideal untuk menjadi pemain futsal profesional.
Tapi, ini tidak adil. Mengapa harus diriku yang diberikan gemuk. Bukan mereka. Kebencianpun tiba-tiba datang, entah darimana asalnya. Kebencian itu masuk kedalam pori-pori jantung hatiku.
Aku mulai membenci tubuhku sendiri. Irrasional, memang. Tapi, aku tidak kuasa untuk menolak kebencian itu,” tuhan tidak adil, gak adil padaku. Mengapa musti aku. mengapa?” pekikku perlahan. Air matapun perlahan mengalir dari kedua mataku. Tangis kekecewaan.
...
Bola kutendang, mengenai tiang gawang,meleset. Sudah kesekian kalinya tendanganku tidak akurat, aku hanya mendengus keras. Bolapun dikuasai oleh kang Doni. Ia pun menunjukkan keahliannya, kemampuannya sebagai pemain inti tim futsal di fakultas tempat ia berkuliah. Tubuhnya melesat gesit, kulihat ia mempraktekkan tarian samba, teknik lumayan tinggi. Ia tendang bola itu, dan gool. Bolapun masuk ke gawang, aku tak kuasa menghalang bola itu masuk ke gawangku.
Kami hanya berdua. Ya berdua, aku melawan kang Doni. Akupun mencoba menyerang, kupraktekkan beberapa teknik yang ku kuasai, takseberapa memang dibanding dengan teknik yang dikuasai kang Doni. Setelah sampai di depan gawang, kutendang bola itu. Arrgh, meleset lagi, bola membentur keras mistar gawang.
“hei, Ndre.... ada masalahkah?” tanya kang Doni.
“masalah” aku tersentak, ya memang ada, dan masalah itu adalah diriku sendiri. Aku terlalu gemuk, nggak ideal. Hingga keseimbangan tubuhku tidak bisa kukontrol, tendanganku pun tidak bisa akurat, tidak bisa secepat tendangan Kang Doni.
Coba, andai saja aku lebih kurus, mungkin aku bisa lebih gesit, tendanganku lebih akurat, dan akupun bisa masuk ke tim inti futsal SMA ku. Lagi-lagi kebencian merasuk kedalam uluh hatiku, perlahan tapi pasti, kebencian kembali memenuhi rongga hatiku.
“ ada apa Ndre?, dari tadi aku perhatikan, permainanmu jelek, ada apa, ada masalahkah?” tanya kang Doni, seraya menepuk bahuku dengan tangan kekarnya.
“ahh, enggak kang, cuman...” belumsempat aku menyelesaikan pembicaraanku, kang Doni sudah memotong.
“Cuma apa?”. Aku mendesah keras, kuedarkan ke sekitar lapangan, sepi. Hanya ada aku dan kang Doni di lapangan ini. Dialah satu-satunya orang yang kukenal di kompleks ini. Aku tidak tahu mengapa. Aku yang kurang pergaulankah, atau penghuninya yang terlalu individualis.. ah itu tak ada gunanya. Buat apa terlalu dipikirin.
Sejenak aku duduk di lapangan, dan tercurahlah semua yang ada dalam isi hatiku. Kuceritakan semua yang kualami, mulai dari perjuangan-perjuanganku selama ini, tentang kekecewaanku, kemarahan irrasionalku, kang Doni pun mendengar dengan seksama.
Kang Doni menatapku, hingga membuatku jengah.
“Ndre, kita duduk disana yuk..” ajak kang Doni seraya menunjuk sepetak tanah berumput dengan tinggi sedang. Letaknya tidak terlalu jauh dari lapangan futsal. Tempatnya berbatasan langsung dengan kompleks tempat aku tinggal.
Akupun berdiri, kuikuti langkah perlahan kang Doni.
...

Kulirik sosok yang duduk disebelahku. Rambut lurus sebahunya berayun manja ditiup angin senja. Kacamatanya berkilau diterpa cahaya mentari sore hari.
Sejenak kulihat dia masih menatap tajam matahari di ufuk barat sana.
Selalu mengagumkan, batinku. Bulatan besar berwarna merah di cakrawala, dibayang langit jingga oranye, dengan shilouet awan keperakan. Gradasi awan biru berbaur jingga. Membentuk harmoni langit senja yang indah sekali. Menentramkan jiwa. Sejenak ku terlupa dengan apa yang baru saja ku alami.
...
“Ndre, kau lihat itu...?” tanyanya tanpa menoleh ke arahku.
“ya..” akupun menjawab.
“Indahkah itu semua..?” kang Doni kembali bertanya. Kucoba memahami lebih dalam pertanyaannya. Tentu saja indah, sangat indah bagiku, dan akupun yakin diapun sedang menikmati keindahan ini.
Sering sekali aku melihat kang Doni sedang menikmati indahnya pesona lagit senja dari belakang rumahnya.
“seperti apakah warnanya...?.” kang Doni kembali bertanya. Pertanyaan yang masuk akal bagiku. Pertanyaan filosofis mungkin.
Sejenak aku heran, mengapa kang Doni bertanya begitu. Semua orang tahu, warna langit senja adalah jingga keemasan. Bentukan harmoni matahari sore diantara shilouet awan membentuk sketsa abstrak.
“maksudnya..?”. tanyaku. Kucoba mendalami apa yang ditanyakannya.
Kang Doni tertawa kecil, ia rebahkan badan atletisnya ke hamparan tanah berumput itu. Dia menatap awan, lepas keatas. Menatap langit yang belim terlalu gelap.
..
“ aku belum pernah Ndre, bahkan mungkin nggak akan pernah bisa merasakan, menikmati keindahan, kesempurnaan warna-warna, demikian jiga langit senja ini..” ujarnya pelan.
Aku masih belum mengerti apa yang dikatakanyya, apa yang telah diucapkannya. Bingung.
“ tapi pernahkah kau lihat aku mengeluh? Pernahkah kau lihat aku berputus asa Ndre?”
Tanyanya sambil menengok ke arahku.
“pernahkah kau lihat aku menyalahkain semua yang sudah menimpa diriku?, bahkan sampai-sampai berpikiran bahwa Allah nggak adil untukku?” ia melanjutkan.
Aku tertohok, KO. Tapi aku belum bisa mengerti apa maksud dari apa yang dibicarakan kang Doni padaku.
Kang Doni menarik nafas panjang, dan kemudian berkata,” Ndre...” sapanya.
“ada apa kang?” tanyaku.
“tahukah kau?” dia melanjutkan pertanyaannya.
“tahu apa kang?” aku kembali bertanya. Disertai rasa penasaran.
“ tahukah kamu... aku menderita buta warna.. Ndre?” ucapnya datar.
Sekali lagi aku tertohok. Kali ini lebih dalam, aku terhenyak, terkejut. Aku tidak percaya mendengar apa yang baru saja ia katakan, sampai-sampai aku sulit untuk berbicara.
“bu...buta warna kang...?” tanyaku penuh keheranan.
Terbayangkan olehku menatap remang layar dunia dibatasi keterbatasan warna.
“iya ndre.. iya.., tapi aku nggak pernah marah, nggak pernah. Nggak pernah aku meratapi itu semua Ndre, it’s no use. Aku tahu apa yang musti aku lakukan Ndre, mungkin kamu belum mendalaminya. Bersyukur Ndre, bersyukur, Qona’ah, menerima semua yang sudah diberikan Allah pada kita semua, itu saja.” Ujarnya.
Iapun melanjutkan, “aku masih bisa merasakan keindahan lainnya, walaupun dengan keterbatasan yang ada padaku, bersyukur Ndre, bersyukur, itu saja.”.
Aku tertohok lagi untuk kesekian kalinya. Badanku tersentak, hatiku bergetar, kurasakan sesuatu menjalari tubuhku. Air mataku pun terasa mengalir hangat, perlahan.
“Ndre..” ujarnya perlahan.
“seperti apapun hidupmu, seperti apapun yang menimpamu, syukurilah, pahamilah, terima semua itu. Pasti ada makna yang tersembunyi di dalamnya. Nggak ada yang sia-sia dalam hidup ini Ndre, nggak ada..!” lanjutnya.
Perasaan aneh menjalari tubuhku, menderu di kedalaman relung jiwa. Rasa bersalah penuh dosa seperti menampar keras hatiku.
Aku tertunduk lama . lemah sekali. Seperti kehilangan tulang penopang tubuh. Aku sangat ingin menangis. Sangat ingin menumpahkan air mata penyesalan ini pada sebuah sujud panjang.
...
“ Astaghfirullahaladzim...” gumamku perlahan. Lirih sekali, tapi penuh perasaan penyesalan.
“Hidup yang nggak diuji adalah hidup yang nggak pantas dihidupi, nggak layak.”ujarnya pelan tapi meyakinkan.
“syukuri semuanya Ndre, terima dengan lapang dada, dan pelajari makna yang ada di dalamnya” .ujar kang Doni.
Aku masih tertunduk dalam.
“jika kau sudah melakukan semua itu, aku yakin kau akan merasakan ketenangan, rasa menerima, ketentraman di dalam hatimu..” kang Doni melanjutkan.
...
Kurenungi semua yang telah kang Doni ucapkan padaku, kudalami maknanya. Dan aku pun menangis, airmata mengucur deras dari kedua belah mataku, tak tertahankan.
Kemarahan, kekecewaan yang tadi aku rasakan seolah hilang tak berbekas, semuanya tergantikan dengan rasa sesal, penyesalan yang dalam. Dalam sekali.
“ tak usah terlalu kau sesali Ndre, itu manusiawi. Banyak orang juga pasti melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan, saat menerima kenyataan yang sulit diterima hatinya. It’s normally!. “ kang Doni menenangkanku.
Kau benar kang. Ujarku dalam hati.
“ yang perlu kau lakukan hanya tenangkan dirimu, terimalah itu semuanya.. dan jangan terlalu kau sesali” kang Doni mengulangi, menyimpulkan.
Aku masih terdiam, semua yang ia katakan serasa menjadi air penyejuk dalam hatiku.
“makasih kang..” ujarku lirih..
Kang Doni menjawab dengan sesimpul senyuman.
Ku dengan samar-samar kumandang takbir. Adzan maghrib berkumandang. Kang Doni mengajakku pulang. Akupun pulang ke rumahku.
Sejenak aku teringat nasyid.

Jadilah rumput nan lemah lembut
Tak urung dipukul ribut
Bagaikan air dalam lautan
Tak terusik dilanda badai
Dalam sukar hitunglah kesyukuranmu
Dalam senang, hitunglah kealpaanmu
Sedikit derita melanda, segunung karuniaanNya
...
Selepas maghrib, kucoba mengingat-ingat apa yang baru saja kualami.
Kubandingkan dengan rasa syukurku, ternyata gak ada apa-apanya. Aku memang kurang sekali bersyukur, kurang bisa mendalami makna yang terkandung dalam setiap permasalahan yang menimpa diriku.
Kucoba tenangkan diri, kuambil MP3 playerku, kudengarkan lagu dari penyanyi favoritku, Avril Lavigne. Nggak pas. Memang, tapi entah mengapa setiap aku mendengarkan lagu-lagunya, aku merasa tenang. I will be, Keep holding on, Runaway, I’m with you, when you’re gone. Semua aku suka.
Adzan Isya’ pun menyapaku. Segera aku bangkit dari kasur, kuambil wudlu, dan sholat Isya’ berjama’ah di masjid.
...
Sepulang dari masjid, makan malam telah menantikanku. Segera aku melahap makananku. Sambil menonton acara TV kesukaanku, Mario Teguh, the Golden Ways. Tema pada malam itu adalah. “ ketika semua tidak bisa kau terima, apa yang harus kaulakukan?”. Wow tepat seperti apa yang kurasakan hari ini.
Kulihat layar kaca itu dengan seksama, kudengarkan petuah-petuah yang keluar. Kudalami maknanya.
“kemenangan yang paling besar adalah bukan berarti kita tidak pernah jatuh, tapi kita bangkit setiap kali terjatuh...”. katanya.
Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di kepalaku. Menambah semangatku.
Acara itupun selesai. Kumatikan TV dan pergi ke kamarku.
...
Waktu menunjukkan jam sembilan malam. Aku belum ngantuk, kuevaluasi lagi apa yang telah kulakukan siang tadi, dan aku hanya tertawa sebentar, menyadari kebodohanku, kemudian menangis.
Kembali ku ambil MP3 playerku, kutancapkan earphone ke telingaku. Kudengarkan lagu-lagu klasik, instrumentalia. Penenang sekaligus pengantar tidur. Sambil membaca buku.
Tak lama kemudian akupun mengantuk.
Kulepas earphone dari telingaku. Kumatikan mp3 player. Dan pergi tidur.
“Bismika Allahumma Ahya Wa bismika amuut...” aku berdo’a.
...
Aku menikmati benar tidurku malam ini, mungkin karena aku kecapekan. Terlalu banyak energi kukeluarkan saat marah tadi.
...
Tak seperti biasanya, ada yang mengirimiku SMS sepagi ini. Aku lupa menyilentkan hpku. Akupun terbangun. Kubaca SMSnya, dari kang Doni.
“coba bangun, ambil wudlu, shalat lail, curahkan segalanya pada Allah, dan kau akan merasakan ketenangan..” isi SMS itu.
Akupun segera mengambil air wudlu, setelah itu kugelar sajadahku tepat di sisi kanan kasurku. Shalat lail. Sudah lama sekali aku tidak melakukannya.
...
Nyaman sekali, kurasakan kesegaran mengalir ke seluruh tubuhku, saat mengucapkan surat AL-fatihah. Ringan tanpa beban.
Saat sujud, kurasakan air mata keluar dari mataku. Hikmad sekali. Penuh penyesalan.
Sujud terakhir ku pada shalat lail malam itu, air mata mengucur dengan derasnya. Aku menyesal telah mengkhianati karunianya.
“ Astaghfirullahaladzim... ya Allah, ampuni dosa-dosa hamba ya Allah, hamba terlalu kecil bagimu ya Allah... tapi ku yakin kau maha pengasih lagi maha penyayang..”
“engkau telah memberikan yang terbaik bagiku ya Allah,...” bibirku tergetar... air mata mengalir semakin deras.
“ampuni dosa-dosa hamba ya Allah. Yang telah melupakan, tidak sedikitpun menyukuri apa yang telah engkau karuniakan padaku”
“Ya Allah, terimakasih, kau tlah menyadarkanku, kau telah mengingatkanku akan indahnya bersyukur, di sepotong senja saat semua terasa menyesakkanku,”
“aku yakin ya Allah, kau memiliki skenario. Aku yakin ada makna yang terkandung didalamnya, dan kau tlah memberikan yang terbaik buat hambamu ini.”
...
Tuhan, dosaku menggunung tinggi
Tapi rahmatmu, tak pernah berhenti
Harga selautan syukurku
Hanyalah setitis, nikmatmu di bumi
Tuhan, walau taubat sering kumungkir
Tapi pengampunanmu tak pernah berakhir
Bila, selangkah kurapat padamu
Seribu langkah kau rapat padaku

8 komentar: